Optimalisasi Pajak Masih Tujuan Utama Kebijakan Fiskal
GUE JABAR | Jakarta, FMB9 – Pemerintah melakukan berbagai langkah reformasi di bidang perpajakan demi meningkatkan penerimaan negara akibat pandemi Covid-19 yang berkelanjutan. Langkah ini juga dipandang sebagai upaya menghadapi pembiayaan pembangunan yang masih banyak di masa mendatang.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal menyampaikan, secara umum tren tax ratio Indonesia mengalami penurunan yang cukup besar sejak tahun 2011.
“Secara umum, tax rasio kita memang mengalami tekanan yang cukup besar sejak tahun 2011,” katanya dalam diskusi daring bertema “Pemulihan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Globa” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) pada Senin, (25/7/2022).
Selama beberapa tahun terakhir, Yon menjelaskan, tax ratio yang didefinisikan sebagai rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih belum optimal.
Namun, dinilai masih cukup dinamis bila memperhitungkan penerimaan PNBP sumber daya alam yang sangat sensitif terhadap perubahaan harga komoditas. Oleh karena itu, tambahnya, optimalisasi pajak masih menjadi tujuan utama kebijakan fiskal. Maka dari itu, perbaikan pajak yang dilakukan pemerintah ke depannya, menurut Yon, meliputi sisi kebijakan (policy) dan administrasi.
“Jadi dari dua sisi ini, kita melihat bahwa tax ratio kita masih cukup challenging. Kemudian di satu sisi kita tentu melihat ada pilihan kebijakan yang kita ambil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Sejak 1983, Yon menuturkan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait reformasi perpajakan. Bahkan hingga saat ini, jumlah wajib pajak meningkat menjadi 42,51 juta dari 163 ribu pada 1983.
“Kalau kita lihat sejak pertama kali dilakukan reformasi perpajakan, jumlah wajib pajak kita pada 1983 masih sekitar 163 ribu, sementara sekarang berada di kisaran 42,51 juta,” katanya.
Dalam forum yang sama, Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter BI, Wira Kusuma mengatakan Bank Indonesia memutuskan mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50% dan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75% serta suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
“Ini merupakan hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Juli 2022. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” ujar Wira.
Wira menjelaskan, Bank Indonesia terus mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan, serta memperkuat respons bauran kebijakan moneter yang diperlukan baik melalui stabilisasi nilai tukar Rupiah, penguatan operasi moneter, dan suku bunga. Dalam memperkuat bauran kebijakan tersebut, papar Wira, Bank Indonesia melakukan sejumlah strategi, mulai dair memperkuat operasi moneter.
“Ini merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan SBN di pasar sekunder,” pungkas Wira.
Selanjutnya, BI juga memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi melalui intervensi di pasar valas yang didukung dengan penguatan operasi moneter.
Di samping itu, BI juga terus melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit Konsumsi (Lampiran).
Ke depannya, Siddhi berharap, pemerintah terus meningkatkan jangkauan wajib pajak. Sebab pajak merupakan tanggung jawab semua warga negara yang harus dipikul bersama-sama.
“Ke depannya, pemerintah harus terus meningkatkan jangkauan untuk wajib pajak. Kita terus mendorong ektensifikasi karena memang wajib pajak ini harus dipikul bersama-sama oleh seluruh warga negara,” tukasnya.
(Redaksi)