Memaknai Kembali Partisipasi Politik Bagi Gen-Z dan Gen-Milenial di Pemilu 2024
Di tahun 2024 ini, Indonesia akan mengalami siklus lima tahunan yakni adanya agenda pemilu yang saat ini akan dilakukan secara serentak. Dilansir dari website milik Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilu serentak berarti pemilu dan pilkada akan dilakukan di tahun yang sama, yaitu untuk pemilu dalam rangka memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 dan Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan atau Walikota dan Wakil Walikota akan dilaksanakan pada 27 November 2024.
Berdasarkan pemetaan pemilik suara di 2024 mendatang di dominasi oleh pemilih dari Gen-Milenial dan Gen-Z. Hal ini sebagaimana data yang disampaikan oleh KPU, dimana Sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari Gen-Milenial dan sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari total DPT Pemilu 2024.
Dari uraian di atas, menurut opini saya selaku Founder dari Youth Empowerment Space (YES) Kabupaten Bekasi yang merupakan organisasi kepemudaan yang menghimpun pemuda-pemudi di kabupaten Bekasi, dengan total jumlah pemilih muda sangat signifikan mencapai 56,45%, seharusnya pemilih muda tidak hanya ditargetkan sebagai pemilih saja dalam momentum pemilu untuk mendulang suara, melainkan kedepan pasca pemilu harus dijalankan juga prinsip-prinsip “Demokrasi Deliberatif”, sebagaimana yang dikatakan oleh Jurgen Habermas (1982).
Demokrasi deliberatif yang digagas oleh Habermas menghendaki dalam proses legislasi melewati dialog antara mekanisme legislatif dan diskursus publik, baik yang sifatnya formal atau informal, dalam proses dinamika masyarakat sipil. Demokrasi deliberatif menghadirkan ruang khusus di luar lingkup kekuasaan administratif negara. Ruang itu bisa dikatakan sebagai jaringan-jaringan komunikasi publik dalam masyarakat sipil.
Hal itu penting untuk memastikan kedaulatan tetap berada ditangan rakyat, memastikan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan wakil rakyat bukanlah kepentingan pribadi atau golongan melainkan kepentingan bersama sesuai dengan prinsip “Bonum Commune, suprema lex” atau yang berarti “Kesejahteraan masyarakat adalah hukum tertinggi”, sebagaimana juga yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi:
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Teori Partisipasi Politik
Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu “pars” yang berarti “bagian” dan “capere” yang berarti “mengambil peranan” dalam aktivitas atau kegiatan politik negara. Apabila dipersatukan arti keseluruhannya adalah “mengambil bagian”. Dalam bahasa inggris kemudian dikenal sebagai partisipate atau participation yang artinya adalah ambil bagian atau peranan. Jadi, dapat dimaknai bahwa partisipasi berarti ambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno,2004:102-103).
Menurut Miriam Budiarjo, (dalam Cholisin 2007:150) mengatakan bahwasanya partisipasi politik umumnya dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan metode memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung ikut serta dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Adapun partisipasi politik dalam jurnal Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014 (2015) karya RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin, setidaknya dipengaruhi oleh 3 faktor, yakni ; Faktor psikologis, ekonomi, dan sosiologis. (1).Faktor psikologis berkaitan erat dengan identifikasi individu atau masyarakat terhadap suatu partai politik ; (2). Faktor ekonomi dipengaruhi oleh evaluasi atau pemikiran individu terkait kondisi ekonomi ; (3). Faktor sosial meliputi aspek agama, pendidikan, tempat tinggal, usia, jenis kelamin, serta tingkat ekonominya.
Berdasarkan bentuknya, partisipasi politik di bagi menjadi 2 jenis, yakni partisipasi politik aktif dan pasif ; (1). Partisipasi politik aktif adalah bentuk partisipasi politik yang dilaksanakan dengan pengajuan usul mengenai kebijakan umum beserta pilihan alternatifnya ; (2). Partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi politik yang dilakukan dengan menaati, menerima, serta melaksanakan saja seluruh keputusan pemerintah tanpa adanya kesangsian.
Demokrasi dan Pemilu
Secara harfiah demokrasi artinya adalah pemerintahan Oleh, dari dan untuk rakyat. Hakikatnya, peran Serta masyarakat dalam segala bidang Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan Bernegara merupakan hakikat dari negara Demokrasi. Oleh karenanya, idealnya dalam Pengisian jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme Pemilu. J. J. Rousseau menyatakan bahwa bentuk Demokrasi yang ideal yakni pemerintahan yang diatur oleh rakyat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Pemilu sangat penting bagi sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemilu juga bisa dikatakan sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, Setyo Nugroho dalam jurnalnya mengatakan bahwa kedaulatan rakyat adalah kedaulatan yang memberikan gambaran terhadap suatu sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Sebagaimana yang dikutip dari Jurnal Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pesta Demokrasi (2019) karya Azirah, dikatakan setidaknya ada 4 aspek pentingnya pemilu yang perlu diketahui ; (1). Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat ; (2). Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi ; (3). Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik ; (4). Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara konstitusional.
Peran Gen-Z dan Gen-Milenial
Dari penjelasan di atas, lebih lanjut dapat dimaknai bahwa sudah seharusnya Gen-Z dan Gen-Milenial dapat berperan sebagai partisipan politik yang aktif, bukan hanya aktif terlibat dalam momentum elektoral semata melainkan melibatkan diri juga dalam setiap proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan.
Gen-Z dan Gen-Milenial juga harus menjadi pemilih yang rasional dengan mengetahui visi, misi, ide, gagasan, program kerja dari calon-calon yang akan menjadi representatif kita semua di kursi parlemen ataupun eksekutif. Golput bukan menjadi solusi, karena golput menunjukan tindakan yang bersifat apolitis, Bertolt Brecht pernah berkata bahwa “Buta terburuk adalah buta politik”, karena segala keputusan dan kebijakan hadir dari proses politik.
Untuk itu dibutuhkan nalar kritis dalam memandang politik itu sendiri, kalaulah dinamika politik yang terjadi menimbulkan trust-issue dari kalangan Gen-Z dan Gen-Milenial hal tersebut bukan berarti menurunkan tingkat kepedulian kita semua terhadap politik, justru kita harus lebih peduli lagi apalagi dengan begitu dominannya jumlah suara dari Gen-Z dan Gen-Milenial berarti arah tujuan bangsa ini ke depan ada ditangan kita semua.
Penggunaan media sosial sebagai produk dari digitalisasi juga harus di gunakan dengan sebijak mungkin, pilah-pilih informasi yang mempunyai tingkat validitas tinggi serta bersumber dari sumber yang kredibel juga sangat penting dilakukan, karena kita hidup di era yang sering disebut sebagai fase post-truth atau pasca-kebenaran, di fase ini sering ditemukan kebohongan yang menyamar seolah-olah sebagai kebenaran hanya karena disebarkan oleh banyak orang, gunakan media sosial untuk menyuarakan opini yang tentu diimbangi oleh data dan fakta yang mendukung.
Oleh : Muhamad Choerul Adlie Rafqie (Founder YES Kab. Bekasi)










