Muhammad Iqbal : Pemikir Muslim Penggagas Kebebasan dan Humanisme Ala Islam

Muhammad Iqbal : Pemikir Muslim Penggagas Kebebasan dan Humanisme Ala Islam

Oleh : Muhammad Hamzah At-Thoriq, NIM (1225010121), UIN SGD Bandung

Bangsa dan peradaban besar selalu mencatat pemikir dan pemikiran besar didalamnya. Bangsa Eropa terkenal sebagai bangsa dengan segudang tokoh yang selalu menghadirkan pemikiran-pemikiran baru untuk transformasi peradaban yang lebih baik. Mulai dari pemikiran tentang politik kenegaraan, sampai hakikat kehidupan. Mulai dari cara hidup ideal sebagai individu sampai dengan cara hidup ideal bernegara dan bermasyarakat.

Islam sebagai bangsa yang perna mengalami puncak kejayaan dan menjadi yang terdepan sebagai barometer peradaban manusia juga pernah melahirkan pemikir dan pemikiran besar. Mulai dari tokoh klasik seperti Ibnu Rusd dan Ibnu Taymiyah, sampai pemikir kontemporer seperti Jamaludin Al Afghani, Muhammad Iqbal, sampai Sayyid Qutbh.  Tokoh-tokoh tersebut ialah sebagian kecil pemikir muslim yang memberikan ide dan gagasan nya, termasuk Muhammad Iqbal, seorang pemikir muslim dari Pakistan yang memberikan konsep kebebasan dan Humanisme dengan nilai-nilai islam didalamnya.

Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir pada 09 November 1877 di Sialkot, Punjab yang saat ini merupakan bagian dari Pakistan. Iqbal lahir dari keluarga yang sangat taat beragama. Keluarganya berasasal dari Kashmir yang kemudian pindah ke Punjab. Syekh Noor Muhammad adalah ayahnya yang merupakan seorang sufi dan bejerja sebagai pedagang. Sementara ibunya ialah Imam Bibi, seorang Perempuan taat dan selalu memperhhatikan Pendidikan agama pada anaknya. Kakeknya sendiri ialah Muhammad Rafiq, seorang ulama dan Sufi besar di Kashmir sebelum hijrah ke Punjab. Dengan lingkungan keluarga yang taat, sangat berpengaruh kepada Iqbal kecil untuk semangat dalam menggali pemahaman agama (Ihsan Fauzi & Nurul Agustina, 1992).  

Iqbal memperoleh Pendidikan formal pertamanya di madrasah setempat untuk belajar Al Quran. Setelah tamatr, ia melanjutkan Pendidikan di Scottish Mission School di Sailkot, Punjab. Disana ia mulai mengembangkan potensi intelektual yang dia miliki. Ia juga mulai mengembagkan potensi nya dalam hal sastra, terlebih Ketika ia mendapatkan seorang guru seorang sastrawan terkemuka Bernama Mir Hassan. Dibawah bimbingannya, ia mulai banyak membuat puisi-puisi hebat yang juga menaikan Namanya (Republika, 2017).

Setelah tamat dari Scottish, ia melanjutkan Pendidikan di Government College Lahore pada 1895. Disana, ia dibimbing secara intensif oleh Sir Thomas Arnold, seorang orientalis Inggris yang mengajarkan pemahaman lebih dalam kepada Iqbal tentang Filsafat barat maupun Eropa. Perpaduan guru dari timur dan barat inilah yang juga memengaruhi pemikiran Muhammad Iqbal nantinya.

Muhammad Iqbal kemudian melanjutkan Pendidikan tingginya di Trinity College Universitas Cambride, London dan memperdalam filsafat moral. Kemudian ia melanjutkan Pendidikan di Universitas Munich, Jerman dan memperoleh geral Ph..D. Selama tiga tahun di Eropa, ia banyak membaca buku di perpustakaan Cambride maupun Munich. Ia juga sering mendidkusikan berbagi persoalan-persoalan serta terus giat menulissajak dan syair-syairnya.

Pemikiran  Filsafat Moral Muhammad Iqbal

Unsur penting yang membangun teori filsafat moral Muhammad Iqbal ialah Khudi. Khudi secara etimologi berarti pribadi, ego, atau keinginan. Khudi adalah pusat dan merupakan suatu Iradah kreatif yang terarah secara rasional menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur. Iqbal menerangkan bahwa Khudi ialah pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Khudi tidak hanya ada pada manusia, Iqbal menjelaskan bahwa khudi ada pada setiap wujud dan bertempat pada alam ini, yang membedakan hanyalah pada tingkatannya. Khudi akan terus bergerak baik dalam proses asosiasi dan interaksinya dan menaiki tangga keberadaan ke titik perkembangan manusia yang tertinggi Ketika menjadi pribadi. (Muhammad Iqbal, 1976).

Dalam memudahkan menjelaskan konsep Khudi, Iqbal mebaginya menjadi dua arti, yakni arti Metafisis dan arti etis.  Arti Khudi secara metafisis ialah perasaan tentang Aku yang tidak dapat dilukiskan dan merupakan dasar keunikan tiap Individu (CA, Qadir, 1998). Sementara secara etis, Khudi ialah mengandalkan diri sendiri, harga  diri, percaya diri sendiri, mempertahankan diri, bahkan menonjolkan diri, apabila itu diperlukan demi kepentingan hidup serta kekuatan untuk tetap membela kebenaran, keadilan, kewajiban, bahkan dalam menghadapi maut sekalipun.

Secara praktis, ego metafisis ialah pendukung dua hak utama, yakni hak hidup dan hak untuk bebas, seperti ditetapkan oleh Hukum Tuhan. Muhammad Iqbal menolak paham Jabariyah yang megasumsikan bahwa manusia tak memiliki kehendak bebas. Manusia hanyalah sebuah wayang yang setiap Keputusan dan tindsakannya ialah kehendakn dan takdir yang diinginkan Tuhan. 

Menurut Iqbal, manusia dengan Khudi-nya, selalu memilki Khudi yang melekat. Khudi ini yang mendorong kehendak bebas manusia. Kesempurnaan Khudi akan mendorong konvergensi kehendak manusia dengan  kehendak mutlak (Kehendak Tuhan). Kehendak Tuhan disini dimaksud sebagai bagian internalisasi mengenai apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan yang akan memengaruhi individu dalam mengambil keputusannya sebagai bentuk dari kehendak bebas.

Muhammad Iqbal juga merupakan seorang Humanis. Dalam ejawantahnya terhadap nilai humanisme, ia berpendapat bahwa dengan Khudi yang melekat pada manusia, manusia selalu memiliki sisi kreatif dan inovatif didalamnya. Selanjutnya, Iqbal berpendapat bahwa ruang dalam eksplorasi potensi dir manusia tidaklah boleh dan dibatasi. Dengan Khudi yang sempurna, yang telah diinternalisasi dengan kehendak Tuhan, Ego manusia yang selalu kreatif akan memuncilkan karya positif untuk kemajuan peradaban.

 

Referensi :

Fauzi, Ihsan Ali, dan Nurul Agustina, Sisi Manusiawi Iqbal, Bandung, Mizan, 1992

Iqbal, Muhammad, Asrar Al Khudi, diterjemahkan oleh Bahrum Rangkuti Rahasia-Rahasia Pribadi, Jakarta, Bulan Bintang, 1971.

C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1998)

Danusiri, Epistimologi dalam Tassawuf Iqbal, Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 1996)

Related Articles

Stay Connected

20,826FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles